Ketika tahun 1997 wabah pseudomonas dan fusarium melanda
kebun pisang rakyat maupun perkebunan besar di Indonesia, tetap ada tanaman
pisang yang selamat. Pertama, yang bisa selamat dari amukan penyakit tersebut
adalah jenis pisang "bandel" seperti mas, muli, dan lilin. Tetapi
pisang-pisang yang sangat rentan penyakit seperti kepok kuning, ambon kuning,
raja sereh, raja bulu dan tanduk pun, tetap ada yang selamat. Pisang-pisang
tersebut selalu berada di kebun atau pekarangan rumah penduduk dengan tanaman yang
campuraduk. Berbagai jenis pisang ada di sana, berbagai jenis tanaman juga
tegak di kebun itu. Mulai dari tanaman semusim seperti kunyit dan keladi sampai
ke tenaman keras seperti bambu, petai dan kelapa. Tempat tumbuh tanaman pisang
yang selamat dari amukan penyakit itu selalu sangat subur dan kaya bahan
organik. Pada musim kemarau panjang, kelembapan udara serta tanah juga masih
tetap terjada dengan baik.
Sebaliknya, areal perkebunan pisang yang hancur oleh
penyakit adalah tanaman monokultur, bahkan mono varietas. Artinya, kebun pisang
dengan satuan hamparan luas itu hanya ditanami pisang dan hanya terdiri dari
satu jenis. Contoh paling ekstrim adalah kebun pisang cavendish. Meskipun kebun
ini sudah dilengkapi dengan parit drainase selebar 1 m. dengan kedalaman 1,5 m,
diberi pengairan dengan teknik sprinkle, diberi pupuk dan rutun disemprot
pestisida, namun tetap saja habis terkena penyakit. Kebun PT Nusantara Tropical
Fruits seluas 2.000 hektar di Lampung, tinggal ratusan hektar yang selamat.
Kebun PT Global Agronusa Indonesia seluas 3.000 hektar di Halmahera, Maluku,
malahan hancur total oleh penyakit ini. Tanaman pisang rakyat dengan
jenis-jenis komersial seperti ambon kuning, barangan dll. juga hancur terkena
penyakit tadi. Seorang mantan bupati di Sumsel yang mencoba mengembangkan
pisang barangan monokultur juga mengalami nasib demikian.
Gagalnya pengembangan kebun-kebun cavendish di Indonesia,
terutama disebabkan oleh lokasinya yang sangat berdekatan dengan katulistiwa.
Filipina meskipun sama-sama negara tropis, letaknya sudah di atas 10° lintang
utara. Lampung masih di bawah 5° dan Halmahera justru menempel di katulistiwa.
Pengembangan cavendish di Jatim, tepatnya di Kab. Mojokerto, bisa lebih baik
dari di Lampung, karena Mojokerto letaknya sekitar 7,5° lintang selatan.
Pengembangan cavendish secara monokultur dan mono varietas di Australia dan
Filipina relatif berhasil karena tingkat kelembapan udara di dua kawasan tadi
sudah relatif rendah didanding dengan kelembapan rata-rata di Indonesia. Demikian
pula halnya dengan Kostarika yang dikenal sebagai negeri pisang, letaknya
persis pada 10° lintang utara. Ini semua membuat pengembangan pisang secara
monokultur dan mono varietas menjadi dimungkinkan. Problematik mereka justru
hanya masalah pengairan.
Selain jenis cavendish dan barangan, di Indonesia belum
pernah ada kebun pisang komersial yang dikelola secara serius. Yang disebut
sebagai pisang komersial adalah, 1) ambon kuning, 2) kepok kuning, 3) raja
sereh (susu), 4) raja bulu, 5) tanduk, 6) mas. Selain jenis-jenis tersebut,
masih ada pula pisang-pisang yang tetap laku dijual, tetapi nilai ekonomisnya
tidak tinggi. Misalnya pisang nangka, kapas, muli, lilin (janten) dll. Disebut
sebagai ambon kuning, sekadar untuk membedakannya dengan ambon lumut dan ambon
putih. Di beberapa tempat, misalnya di Bandung, ambon lumur justru sangat
digemari konsumen. Tetapi pada umumnya, ambon kuning tetap lebih memiliki
potensi pasar. Ambon putih sulit sekali dipasarkan. Demikian pula halnya dengan
kepok putih yang hanya lazim dimanfaatkan sebagai pakan burung. Yang
dimaksudkan dengan ambon putih serta kepok putih adalah, warna daging buahnya.
Sementara warna kulitnya tetap kuning. Beda dengan ambon lumut yang warna kulit
buahnya memang akan tetap hijau meskipun telah masak.
Raja bulu yang memiliki nilai komersial baik adalah raja
bulu merah. Yakni raja bulu yang daging buahnya kuning oranye kemerah-merahan.
Selain itu masih ada pula raja bulu dengan daging buah putih yang kurang
disukai konsumen. Raja sereh atau pisang susu malahan ada 3 macam. Pertama yang
berukuran besar, tetapi rasanya sedikit masam. Kedua yang berukuran lebih kecil
tetapi rasanya sangat manis dengan daging buah yang lebih kering (kesat). Dua
jenis pisang raja sereh ini kulit buahnya akan berwarna kuning kecokelatan
dengan bintik-bintik cokelat tua. Bintik-bintik pada pisang raja sereh ini
bukannya disebabkan oleh luka tusukan hama trips, melainkan oleh bintik gula
(sugar spot). Hingga masyarakat yang selalu mengatakan bahwa raja sereh yang
manis adalah yang kulitnya cokelat kehitaman memang benar. Karena masih ada
satu lagi jenis raja sereh yang warna kulit buahnya justru kuning muda mulus
namun rasanya sangat sepat serta masam. Pisang tanduk pun ada dua macam.
Pertama yang berdaging muah kemerahan. Di Kab. Lumajang, Jatim, pisang demikian
disebut sebagai pisang agung. Selain itu masih ada lagi pisang tanduk dengan
daging buah putih.
Alam, tampaknya memang telah mengatur bahwa pisang-pisang
yang enak dengan kualitas baik tadi justru sangat rentan terhadap serangan hama
serta penyakit. Pisang-pisang jelek yang nilai komersialnya rendah justru
sangat tahan penyakit. Pisang mas, lilin dan muli misalnya, sama sekali tidak
mempan terserang fusarium dan pseudomonas. Dari enam pisang komersial tadi, ada
yang umurnya genjah, yakni 6 bulan dari sejak tanam (benih anakan tinggi 1m.);
sudah akan berbuah. Pisang raja sereh sekitar 7 sampai 8 bulan. Ambon dan raja
bulu antara 8 bulan sampai dengan 10 bulan. Kepok kuning dan tanduk perlu waktu
sampai 18 bilan (1,5 tahun) untuk berbuah. Harga paling tinggi adalah tanduk
yakni sampai Rp 1.800,- per kg. di tingkat petani. Disusul dengan raja
bulu Rp 1.500,- kg. kemudian ambon kuning Rp 1.200,- per kg. raja sereh /
kepok kuning Rp 1.000,- per kg. dan mas Rp 800,- per kg. Meskipun tanduk
dan raja bulu menduduki ranking harga tertinggi, namun pangsa pasarnya sangat
kecil. Sebab pisang tanduk termasuk jenis olahan (bukan pisang meja) sementara
raja bulu jenis dwi guna. Yang memiliki pangsa pasar terbesar tetap pisang
mabon kuning, karena penggunaannya untuk pisang meja.
Itu semua untuk pasar dalam negeri. Untuk pasar ekspor lain
lagi. Ambon kuning tidak mungkin diekspor karena dua alasan. Pertama,
masrarakat internasional akan menganggapnya sebagai cavendish. Kedua, beda dengan
cavendish yang tangkai buah serta kulitnya kuat, ambon kuning sangat lemah.
Yang memiliki tangkai buah serta kulit kuat hanyalah raja bulu dan kepok
kuning. Karenanya, kalau pengembangan kebun pisang komersial berorientasi pasar
dalam negeri, maka konsentrasinya harus ke ambon kuning. kalau tujuannya untuk
ekspor, maka jenisnya raja bulu dan kepok kuning. Hingga rumusan untuk kebun
dengan orientasi pasar dalam negeri adalah, ambon kuning 50%, raja sereh 20%,
raja bulu 10% tanduk, kepok kuning dan mas 20%. Kalau tujuannya untuk ekspor
maka komposisinya raja bulu 40%, kepok kuning 30%, tanduk 10% dan ambon kuning,
mas serta raja sereh 20%. Komposisi itu bisa digabung. Misalnya, ambon kuning
30%, raja bulu 30%, kepok kuning, tanduk, raja sereh dan mas masing-masing 10%.
Orientasinya pasar dalam negeri dan ekspor.
Populasi ideal tanaman pisang ambon kuning atau raja bulu
per hektar adalah 1.500 tanaman. Dengan jarak tanam 2 X 3 meter. Namun dalam
pelaksanaan penanaman jarak tanam itu dibuat 2 m. (membujur) X 3,5 X 2,5 X 3,5
m. dst. (melintang). Pada jarak 2,5 m. dibuat parit drainase selebar 0,5
m. dengan kedalaman 0,7 m. Sementara jarak 3,5 m. akan digunakan untuk
kendaraan (pick up) atau traktor yang akan membawa pupuk kandang serta hasil
panen. Jarak tanam yang 2 m. tersebut, dalam budidaya sistem multi varietas
harus domodifikasi sesuai dengan verietas yang ditanam. Misalnya, pada ambon
dan raja bulu, jarak itu tetap 2 m. Tetapi pada kepok kuning dan
tanduk, diperlebar menjadi 2,5 m. Pada raja sereh dan mas, justru
diperpendek menjadi 1,5 meter. Populasi total per hektar tetap sekitar 1.500
tanaman. Di kalangan petani, biaya tanam pisang ambon kuning atau raja bulu, Rp
5.000,- per tanaman sampai dengan berbuah pertama. Pera petani tidak pernah
memberi pupuk maupun pestisida, tenaga kerja untuk kontrol juga tidak dihitung.
Jadi Rp 5.000,- tersebut hanyalah biaya benih, tanam dan panen.
Pada budidaya komersial, biaya tersebut harus ditambah Rp
5.000,- untuk pupuk dan pestisida pada tahun I. Pada tahun II dst, biaya pupuk
dan pestisida akan meningkat menjadi 3 X lipat, karena tiap rumpun pisang akan
bisa dipanen sebanyak 3 kali. Kemudian masih ada biaya Rp 6.000,- untuk upah
tenaga harian. Perhitungan upah harian adalah, tiap hektar bisa dikerjakan oleh
2 orang dengan UMR Rp 12.000,- berarti tiap 0,5 lahan akan ditangani oleh 1
tenaga kerja dengan upah per tahun Rp 12.000,- X 365 (hari) : 750 (populasi
pisang per 0,5 hektar) = Rp 5.840,- yang dibulatkan menjadi Rp 6.000,- Dalam
perkebunan pisang skala komersial diperlukan pengairan intensif. Pengadaan air
dengan biaya tertinggi adalah apabila harus mengambil air tanah dengan sumur
dalam. Biaya pengeboran berikut pompa, survei, ijin, instalasi dan penampungan
sekitar Rp 200.000.000,- yang bisa mengkover areal 10 hektar. Biaya investasi
ini harus disusutkan paling sedikit untuk jangka waktu 5 tahun. Plus biaya
investasi lainnya berikut benab manajemen, total biaya pembukaan kebun pisang
skala komersial menjadi Rp 50.000.000,- per hektar.
Biaya per hektar Rp 50.000.000,- tersebut untuk skala
minimal 10 hektar. Kalau kebun yang akan dibuka hanya 5 hektar atau malahan
hanya 2 hektar, maka biaya per hektarnya akan jatuh lebih tinggi lagi.
Sebaliknya apabila kita akan membuka sampai 50 hektar, maka biayanya akan menurun,
meskipun angka nominal penurunannya tidak terlalu besar. Hasil pisang 1.500
tandan, dihitung rata-rata 6 sisir per tandan dengan berat per sisir 2,5 kg dan
dengan harga rata-rata Rp 1.200,- Hingga pendapatan per tanaman adalah Rp
Rp 1.200,- X 2.5 X = Rp 18.000,- Hasil per hektarnya dikalikan 1.500,- menjadi
Rp 36.000.000,- Pada tahun II dst. hasil ini akan meningkat menjadi 3 X lipat
yakni Rp 108.000.000,- tetapi biaya pupuk dan pestisida juga akan naik menjadi
Rp 15.000,- X 1.500 per hektar atau Rp 22.500.000,- Secara ringkas, dengan
skala minimal 10 hektar, dengan biaya Rp 500.000.000,- suku bunga 20% dan grace
period 1 tahun, maka dalam waktu 4 tahun pinjaman untuk budidaya pisang ini
sudah bisa dilunasi. Jadi sebenarnya peluang tersebut masih cukup baik. (R) ***
0 komentar:
Posting Komentar