Rabu, 04 November 2015

PERTANIAN berkelanjutan adalah gerakan pertanianmenggunakan prinsip ekologi, studi hubungan antara organisme dan lingkungannya (Rural Science Graduates Association, UNE, 2002). Sejak duduk di bangku sekolah dasar, kita telah belajar tentang rantai makanan, di mana semua makhluk itu saling berkaitan dan hidup berdampingan. Satu mata rantai makanan punah, maka akan mengganggu keseimbangan ekosistem lainnya.

Mari kita lihat kasus keberadaan tikus di sawah, binatang penggerat ini, sebelumnya bukanlah hama,melainkan makhluk Allah yang berhak hidup, berhak makan dan berhak berkembang dan populasinya tetap berada pada level keseimbangan, karena predatornya yakni Burung Hantu masih berada dalam populasi stabil.

Seiring dengan waktu bergulir dan pola kehidupan masyarakat lebih mengutamakan kebutuhan pribadi tanpa memperhatikan habitat makhluk lain, jumlah populasi burung hantu semakin menurun dan bahkan bisa dibilang hampir punah. Alhasil, tikus semakin berkembang karena predatornya (burung hantu) telah punah. Berubahlah status tikus dari makhluk ciptaan Allah, menjadi hama tidak penting dan kemudian menjadi hama penting/utama.

Dan kemudian apa yang dilakukan manusia dengan segala keterbatasan pengetahuannya, lahirlah kebijakan di mana Dinas Pertanian dan Badan Penyuluhan (Bapeluh) mengintruksikan untuk membunuh tikus tanpa ada kajian dari keseimbangan ekologi-konsep PHT berupa:
(1) memasukkan asap ke liang sarang tikus, sehingga tikus mati karena sarangnya dipenuhi asap.
(2) meledakkan sarang tikus, sehingga tikus mati di dalam sarang akibat hulu ledak yang dihasil. Tindakan inilah yang saya sebut “kecerdasan moral” manusia sudah kritis dan menganggap makhluk selain manusia harus dimusnahkan.

Perlu diperhatikan pada kasus tikus, yang perlu diperhatikan adalah agroekosistem, di mana habitat Burung Hantu tetap terjaga sebagai predator tikus, saling ketergantungan satu mahkluk dengan makhluk lain adalah konsep dasar dalam kegiatan/usaha tani pertanianberkelanjutan. Ketika populasi tikus meningkat, maka meningkat pula populasi burung hantu. Ketika populasi tikus menurun, maka ikut menurun pula populasi burung hantu dan begitu seterusnya. Itulah kondisi keseimbangan alam sebagai komponen utama dalam pertanian berkelanjutan.
Perlu kita ingat satu firman Allah Swt dalam Alquran: “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, maha suci Engkau, maka perihalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 191)

Hanya keterbatasan ilmulah kemudian manusia membuat kerusakan di muka bumi ini, sebagaimana firman-Nya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (kejalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)

Pertanian berkelanjutan telah didefinisikan sebagai sebuah sistem terintegrasi antara praktik produksi tanaman dan hewan dalam sebuah lokasi dan dalam jangka panjang memiliki fungsi sebagai berikut (Gold, M. United States Department of Agriculture, 2009): Memenuhi kebutuhan pangan dan serat manusia; Meningkatkan kualitas lingkungan dan sumber daya alam berdasarkan kebutuhan ekonomi pertanian; Menggunakan sumber daya alam tidak terbarukan secara sangat efisien; Menggunakan sumber daya yang tersedia di lahan pertaniansecara terintegrasi, dan memanfaatkan pengendalian dan siklus biologis jika memungkinkan; Meningkatkan kualitas hidup petani dan masyarakat secara keseluruhan.

Tanpa menjaga keseimbangan alam, mustahil penggunaan musuh alami dalam mengelola organisme pengganggu tanaman (OPT) akan berhasil, karena musuh alami membutuhkan kondisi lingkungan yang sesuai dengan perkembangan populasinya. Kecerdasan moral dalam mengambil sebuah kebijakan akan menghasil tindakan yang tidak merusak/mengganggu ekosistem alam. Siapa yang salah ketika kawanan Gajah merusak kebun sawit? Apakah gajah yang salah atau manusia, yang membuka ribuan hektar kebun sawit, sehingga habitat gajah terganggu. Manusia hanya memikirkan keuntungannya saja, tanpa mempertimbangkan kelangsungan hidup hewan lain.
Kearifan lokal setiap daerah/gampong, sudah memiliki kearifan lokal atau adat istiadat secara turun-temurun, tapi karena tidak pernah tertulis, dari waktu ke waktu, kearifan lokal hilang sendiri, tenggelam oleh budaya luar. Padahal kearifan lokal itu memiliki kekuatan hukum yang mengikat penduduk setempat.
Aceh Selatan, misalnya, dalam beberapa tahun terakhir mulai menggali kembali kearifan lokalnya. Hal ini terkait dengan langkanya dan bahkan hampir punahnya burung pemakan ulat penggerak batang pala. Ulat penggerek batang pala ini menjadi hama penting selain penyakit akar putih (JAP) pada tanaman pala. Predator ulat tersebut adalah burung Murai Batu, Murai Gampong dan Cempala. Harga ketiga burung tersebut sangatlah mahal, sehinggal masyarakat terus memburu burung tersebut. Alhasil, ulat penggerek batang pala terus bertambah seiring predatornya semakin berkurang.

Atas penomena tersebut, berdasarkan Kajian Konservasi Alam Lestari Kabupaten Aceh Selatan, pemerintah setempat melaksanakan program penggalian kearifan lokal/pengetahuan lokal di beberapa desa sebagai pilot project dalam melestarikan ekosistem terkait kasus ulat penggerek batang pala. Di antaranya poin kebijakannya adalah dilarang menangkap, memelihara dan memperjual-belikan burung pemakan ulat penggerek tanaman pala, seperti; Murai Batu, Murai Kampong, Cempala dan jenis burung pemakan ulat lainnya.

Kearifan lokal/pengetahuan lokal inilah yang kemudian dijadikan dasar sebagai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk tata ruang Aceh selatan. Ini sesuai dengan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, di antaranya memuat klausul mengenai KLHS sebagai satu instrumen dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dan ini sangat sesuai dengan strategi pertanian berkelanjutan.

Kerusakan lingkungan tidak akan memberi pengaruh positif dalam penerapan konsep biological control. Keseimbangan ekosistem alam menjadi tulang punggung dalam pertanianberkelanjutan sehingga keberadaan musuh alami dari OPT tetap berada pada keadaan stabil dan OPT pun bisa tertekan di level ambang keseimbangan.


(Khaidir, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Abulyatama Aceh (Unaya)

Tagged:

0 komentar:

Posting Komentar