PERTANIAN berkelanjutan adalah gerakan pertanianmenggunakan prinsip ekologi, studi
hubungan antara organisme dan lingkungannya (Rural Science Graduates
Association, UNE, 2002). Sejak duduk di bangku sekolah dasar, kita telah
belajar tentang rantai makanan, di mana semua makhluk itu saling berkaitan dan hidup
berdampingan. Satu mata rantai makanan punah, maka akan mengganggu keseimbangan
ekosistem lainnya.
Mari kita lihat kasus keberadaan tikus di sawah,
binatang penggerat ini, sebelumnya bukanlah hama,melainkan makhluk Allah yang
berhak hidup, berhak makan dan berhak berkembang dan populasinya tetap berada
pada level keseimbangan, karena predatornya yakni Burung Hantu masih berada
dalam populasi stabil.
Seiring dengan waktu bergulir dan pola kehidupan
masyarakat lebih mengutamakan kebutuhan pribadi tanpa memperhatikan habitat
makhluk lain, jumlah populasi burung hantu semakin menurun dan bahkan bisa
dibilang hampir punah. Alhasil, tikus semakin berkembang karena predatornya
(burung hantu) telah punah. Berubahlah status tikus dari makhluk ciptaan Allah,
menjadi hama tidak penting dan kemudian menjadi hama penting/utama.
Dan kemudian apa yang dilakukan manusia dengan
segala keterbatasan pengetahuannya, lahirlah kebijakan di mana Dinas Pertanian
dan Badan Penyuluhan (Bapeluh) mengintruksikan untuk membunuh tikus tanpa ada
kajian dari keseimbangan ekologi-konsep PHT berupa:
(1) memasukkan asap ke liang sarang tikus, sehingga
tikus mati karena sarangnya dipenuhi asap.
(2) meledakkan sarang tikus, sehingga tikus mati di
dalam sarang akibat hulu ledak yang dihasil. Tindakan inilah yang saya sebut
“kecerdasan moral” manusia sudah kritis dan menganggap makhluk selain manusia
harus dimusnahkan.
Perlu diperhatikan pada kasus tikus, yang perlu
diperhatikan adalah agroekosistem, di mana habitat Burung Hantu tetap terjaga
sebagai predator tikus, saling ketergantungan satu mahkluk dengan makhluk lain
adalah konsep dasar dalam kegiatan/usaha tani pertanianberkelanjutan. Ketika populasi tikus
meningkat, maka meningkat pula populasi burung hantu. Ketika populasi tikus
menurun, maka ikut menurun pula populasi burung hantu dan begitu seterusnya.
Itulah kondisi keseimbangan alam sebagai komponen utama dalam pertanian berkelanjutan.
Perlu kita ingat satu firman Allah Swt dalam
Alquran: “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi, (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, maha suci Engkau, maka perihalah kami dari siksa neraka.” (QS.
Ali Imran: 191)
Hanya keterbatasan ilmulah kemudian manusia membuat
kerusakan di muka bumi ini, sebagaimana firman-Nya: “Telah tampak kerusakan di
darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah
merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka
kembali (kejalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)
Pertanian berkelanjutan telah didefinisikan sebagai
sebuah sistem terintegrasi antara praktik produksi tanaman dan hewan dalam sebuah
lokasi dan dalam jangka panjang memiliki fungsi sebagai berikut (Gold, M.
United States Department of Agriculture, 2009): Memenuhi kebutuhan pangan dan
serat manusia; Meningkatkan kualitas lingkungan dan sumber daya alam
berdasarkan kebutuhan ekonomi pertanian; Menggunakan sumber daya alam tidak
terbarukan secara sangat efisien; Menggunakan sumber daya yang tersedia di
lahan pertaniansecara terintegrasi, dan memanfaatkan
pengendalian dan siklus biologis jika memungkinkan; Meningkatkan kualitas hidup
petani dan masyarakat secara keseluruhan.
Tanpa menjaga keseimbangan alam, mustahil
penggunaan musuh alami dalam mengelola organisme pengganggu tanaman (OPT) akan
berhasil, karena musuh alami membutuhkan kondisi lingkungan yang sesuai dengan
perkembangan populasinya. Kecerdasan moral dalam mengambil sebuah kebijakan
akan menghasil tindakan yang tidak merusak/mengganggu ekosistem alam. Siapa
yang salah ketika kawanan Gajah merusak kebun sawit? Apakah gajah yang salah
atau manusia, yang membuka ribuan hektar kebun sawit, sehingga habitat gajah
terganggu. Manusia hanya memikirkan keuntungannya saja, tanpa mempertimbangkan
kelangsungan hidup hewan lain.
Kearifan lokal setiap daerah/gampong, sudah
memiliki kearifan lokal atau adat istiadat secara turun-temurun, tapi karena
tidak pernah tertulis, dari waktu ke waktu, kearifan lokal hilang sendiri,
tenggelam oleh budaya luar. Padahal kearifan lokal itu memiliki kekuatan hukum
yang mengikat penduduk setempat.
Aceh Selatan, misalnya, dalam beberapa tahun
terakhir mulai menggali kembali kearifan lokalnya. Hal ini terkait dengan
langkanya dan bahkan hampir punahnya burung pemakan ulat penggerak batang pala.
Ulat penggerek batang pala ini menjadi hama penting selain penyakit akar putih
(JAP) pada tanaman pala. Predator ulat tersebut adalah burung Murai Batu, Murai
Gampong dan Cempala. Harga ketiga burung tersebut sangatlah mahal, sehinggal
masyarakat terus memburu burung tersebut. Alhasil, ulat penggerek batang pala
terus bertambah seiring predatornya semakin berkurang.
Atas penomena tersebut, berdasarkan Kajian
Konservasi Alam Lestari Kabupaten Aceh Selatan, pemerintah setempat melaksanakan
program penggalian kearifan lokal/pengetahuan lokal di beberapa desa sebagai
pilot project dalam melestarikan ekosistem terkait kasus ulat penggerek batang
pala. Di antaranya poin kebijakannya adalah dilarang menangkap, memelihara dan
memperjual-belikan burung pemakan ulat penggerek tanaman pala, seperti; Murai
Batu, Murai Kampong, Cempala dan jenis burung pemakan ulat lainnya.
Kearifan lokal/pengetahuan lokal inilah yang
kemudian dijadikan dasar sebagai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk
tata ruang Aceh selatan. Ini sesuai dengan UU No.32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, di antaranya memuat klausul
mengenai KLHS sebagai satu instrumen dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Dan ini sangat sesuai dengan strategi pertanian berkelanjutan.
Kerusakan lingkungan tidak akan memberi pengaruh
positif dalam penerapan konsep biological control. Keseimbangan ekosistem alam
menjadi tulang punggung dalam pertanianberkelanjutan sehingga keberadaan musuh alami dari
OPT tetap berada pada keadaan stabil dan OPT pun bisa tertekan di level ambang
keseimbangan.
(Khaidir, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Abulyatama Aceh
(Unaya)
0 komentar:
Posting Komentar