Direktur Eksekutif Yayasan
Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) M.S. Sembiring mengatakan, rata-rata
petani di Indonesia hanya mengantongi Rp 200 ribu per bulan, angka
yang sangat kecil dibanding dengan harga bahan pokok yang terus meroket.
“Petani merupakan profesi
yang banyak ditinggalkan penduduk Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat
pada tahun 2003 masih ada 31 juta rumah tangga usaha tani. Satu
dekade kemudian, jumlahnya merosot jadi 26,5 juta,”kata sembiring dalam
siaran pers yang dikirim ke Flobamora.net, Jumat (16/10) bertepatan
dengan peringatan Hari Pangan Sedunia tahun 2015.
Menurut dia, mengutip
pernyataan Menteri Pertanian Amran Sulaiman pada awal Maret lalu, minat warga
Negara Inodnesia menjadi petani turun karena penghasilannya yang
sangat minim.
Dia menjelaskan, penurunan
jumlah petani itu berpotensi mengganggu target swasembada beras sebesar
73,4 juta ton gabah kering giling. Tapi, apakah petani harus
menggantungkan mata pencahariannya terhadap beras semata?
“Rata-rata petani sawah di
Indonesia mempunyai lahan garapan sekitar 0,3 hektar. Sudah saatnya petani di
Indonesia berdaya,” ujarnya.
Dia menuturkan,
petani sebagai soko pangan di Indonesia perlu mendapatkan perlindungan agar
kehidupannya lebih baik.
Kata dia, Badan
Pangan dan Pertanian dunia (FAO) menggarisbawahi nasib petani dalam hari pangan
sedunia yang jatuh setiap tanggal 16 Oktober. Tahun 2015 ini, tema haripangan sedunia
“Perlindungan Sosialdan Pertanian: memutus siklus kemiskinan di pedesaan”. Adapun
untuk Indonesia temanya adalah “Pemberdayaan Petani Sebagai Penggerak
Ekonomi Menuju Kedaulatan Pangan.”
Sementara Puji Sumedi,
Program Officer untuk Ekosistem Pertanian Yayasan KEHATI menyatakan ada tiga
kata kunci dalam tema hari pangan tahun ini. “Pemberdayaan Petani, Penggerak
Ekonomi dan Kedaulatan Pangan,” ujarnya.
Dia menguraikan, memulai
dari pemberdayaan petani, bisa dirujuk data-data dari Badan Pusat Statistik
tentang nasib petani. Data sudah bicara bahwa profesi petani tak lagi menjadi
pilihan utama generasi muda. Tetapi, semacam kewajiban turun temurun atau
memang tak ada lagi pilihan pekerjaan yang lain.
Di
Indonesia, tambahnya, nasib petani seakan tak berjamin. Jika gagal
panen dan lahan tergadai, pemerintah belum bisa mengulurkan tangannya. Setidaknya
angin sejuk sudah berhembus mulai pekan pertama Oktober 2015. Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) memastikan mulai pekan ini, petani yang gagal
panen biasa mendapatkan uang santunan asuransi pertanian.
“Kebijakan tersebut
berlaku, lantaran dana premi asuransi sebesar Rp 150 miliar kepada
Asuransi Jasindo sebagai penyelenggara asuransi pertanian sudah
dicairkan,” kata Puji.
Puji menambahkan, langkah
positif tersebut perlu dukungan dari internal petani. Artinya, petani juga
harus cerdas dan inovatif sesuai dengan kondisi geografis dan iklim setempat.
puji mencontohkan untuk
petani di Nusa Tenggara Timur yang kering, lebih membutuhkan teknik pertanian
dengan memanfaatkan sedikit air yang bisa tumbuh subur di lahan kering.
Sehingga diharapkan petani bisa tetap mendapatkan pendapatan, tanpa tergantung
dengan musim. Kesejahteraan petani akan membuat profesi ini berkelanjutan,
karena generasi muda melihat menjadi petani adalah profesi yang menjanjikan.
Merujuk pada kata kunci kedua, bahwa pemberdayaan petani sebagai penggerak
ekonomi pun bisa terwujud.
Kata kunci terakhir adalah
kedaulatan pangan. Undang-Undang Pangan No 18 Tahun 2012 sudah mendefinisikan
kedaulatan pangan dalam pasal satu ayat 2.
Kedaulatan Pangan adalah
hak Negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang
menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat
untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
Definisi tersebut menegaskan posisi pangan lokal. Sayang, menurut Puji,
kedaulatan pangan belum ditanggapi serius oleh pemerintah.
Bukti nyata adalah target
swasembada pangan. Bisa dilihat jumlah yang harus dicapai hanya berkutat pada
varietas padi, jagung dan kedelai (pajale). Padi dengan 73,4 juta ton gabah
kering giling, jagung sejumlah 20 juta ton dan kedelai sebanyak 2, 5 juta
ton. “Idealnya sumber swasembada pangan itu tidak hanya diukur dari
pajale, sesungguhnya potensi pangan Indonesia sangat kaya,” ujar
Puji.
Sebagai umat beragama,
menurut Puji, kita patut bersyukur kepada Tuhan yang menciptakan berbagai jenis
pangan di bumi. Caranya adalah memanfaatkannya dengan baik untuk kehidupan
masyarakat di Indonesia. “Ini adalah dasar yang paling sederhana untuk jadi landasan
kebijakan,” kata dia.
Di samping berbagai alasan
lain baik secara ilmiah maupun secara aspek sosial dan budaya sesungguhnya
melestarikan anugerah keragaman pangan di Indonesia adalah suatu sikap yang
bijak. Pelestarian tersebut terwujud dalam penanaman kembali sumber pangan
lokal dan mengomsumsinya kembali.
KEHATI berjuang dan
mendorong pemanfaatan pangan lokal sebagai salah satu sumber kedaulatan pangan
yang tertuang dalam rencana strategis 2013-2017. Kepedulian terhadap potensi
pangan di Indonesia juga masuk dalam empat tema utama program KEHATI yaitu
Pangan, Energi, Kesehatan dan Air.
Dukungan KEHATI terhadap
pemanfaatan sumber pangan lokal oleh petani bisa dilihat di kawasan Flores
Timur dengan pemberdayaan petani pangan lokal. Di Sulawesi Utara, tepatnya di
Pulau Sangihe, KEHATI juga mengajak petani untuk kembali bercocok tanam yang
lestari untuk komoditas rempah dan sagu. Begitu pula yang KEHATI lakukan
bersama para petani di Yogyakarta dengan memanfaatan aneka umbi
0 komentar:
Posting Komentar