Rabu, 11 November 2015


Direktur Eksekutif Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) M.S. Sembiring mengatakan, rata-rata petani di Indonesia hanya mengantongi Rp 200 ribu per bulan, angka yang sangat kecil dibanding dengan harga bahan pokok yang terus meroket.

“Petani merupakan  profesi yang banyak ditinggalkan penduduk Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat pada tahun 2003 masih ada 31 juta rumah tangga usaha tani. Satu dekade kemudian, jumlahnya merosot jadi 26,5 juta,”kata sembiring dalam siaran pers yang dikirim ke Flobamora.net, Jumat (16/10) bertepatan dengan peringatan Hari Pangan Sedunia tahun 2015.

Menurut dia,  mengutip pernyataan Menteri Pertanian Amran Sulaiman pada awal Maret lalu, minat warga Negara Inodnesia menjadi petani turun karena penghasilannya yang sangat minim.

Dia menjelaskan, penurunan jumlah petani itu berpotensi mengganggu target swasembada beras sebesar 73,4 juta ton gabah kering giling. Tapi, apakah petani harus menggantungkan mata pencahariannya terhadap beras semata?

“Rata-rata petani sawah di Indonesia mempunyai lahan garapan sekitar 0,3 hektar. Sudah saatnya petani di Indonesia berdaya,” ujarnya.
Dia menuturkan, petani sebagai soko pangan di Indonesia perlu mendapatkan perlindungan agar kehidupannya lebih baik.

Kata dia, Badan Pangan dan Pertanian dunia (FAO) menggarisbawahi nasib petani dalam hari pangan sedunia yang jatuh setiap tanggal 16 Oktober. Tahun 2015 ini, tema haripangan sedunia “Perlindungan Sosialdan Pertanian: memutus siklus kemiskinan di pedesaan”. Adapun untuk Indonesia temanya adalah “Pemberdayaan Petani Sebagai Penggerak Ekonomi Menuju Kedaulatan Pangan.”

Sementara Puji Sumedi, Program Officer untuk Ekosistem Pertanian Yayasan KEHATI menyatakan ada tiga kata kunci dalam tema hari pangan tahun ini. “Pemberdayaan Petani, Penggerak Ekonomi dan Kedaulatan Pangan,” ujarnya.

Dia menguraikan, memulai dari pemberdayaan petani, bisa dirujuk data-data dari Badan Pusat Statistik tentang nasib petani. Data sudah bicara bahwa profesi petani tak lagi menjadi pilihan utama generasi muda. Tetapi, semacam kewajiban turun temurun atau memang tak ada lagi pilihan pekerjaan yang lain.

Di Indonesia, tambahnya, nasib petani seakan tak berjamin. Jika gagal panen dan lahan tergadai, pemerintah belum bisa mengulurkan tangannya. Setidaknya angin sejuk sudah berhembus mulai pekan pertama Oktober 2015. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan mulai pekan ini, petani yang gagal panen biasa mendapatkan uang santunan asuransi pertanian.

“Kebijakan tersebut berlaku, lantaran dana premi asuransi sebesar Rp 150 miliar kepada Asuransi Jasindo sebagai penyelenggara asuransi pertanian sudah dicairkan,” kata Puji.
Puji menambahkan, langkah positif tersebut perlu dukungan dari internal petani. Artinya, petani juga harus cerdas dan inovatif sesuai dengan kondisi geografis dan iklim setempat.
puji mencontohkan untuk petani di Nusa Tenggara Timur yang kering, lebih membutuhkan teknik pertanian dengan memanfaatkan sedikit air yang bisa tumbuh subur di lahan kering. Sehingga diharapkan petani bisa tetap mendapatkan pendapatan, tanpa tergantung dengan musim. Kesejahteraan petani akan membuat profesi ini berkelanjutan, karena generasi muda melihat menjadi petani adalah profesi yang menjanjikan. Merujuk pada kata kunci kedua, bahwa pemberdayaan petani sebagai penggerak ekonomi pun bisa terwujud.

Kata kunci terakhir adalah kedaulatan pangan. Undang-Undang Pangan No 18 Tahun 2012 sudah mendefinisikan kedaulatan pangan dalam pasal satu ayat 2.
Kedaulatan Pangan adalah hak Negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Definisi tersebut menegaskan posisi pangan lokal. Sayang, menurut Puji, kedaulatan pangan belum ditanggapi serius oleh pemerintah.

Bukti nyata adalah target swasembada pangan. Bisa dilihat jumlah yang harus dicapai hanya berkutat pada varietas padi, jagung dan kedelai (pajale). Padi dengan 73,4 juta ton gabah kering giling, jagung sejumlah 20 juta ton dan kedelai sebanyak 2, 5 juta ton.  “Idealnya sumber swasembada pangan itu tidak hanya diukur dari pajale, sesungguhnya potensi pangan Indonesia sangat kaya,” ujar Puji.
Sebagai umat beragama, menurut Puji, kita patut bersyukur kepada Tuhan yang menciptakan berbagai jenis pangan di bumi. Caranya adalah memanfaatkannya dengan baik untuk kehidupan masyarakat di Indonesia. “Ini adalah dasar yang paling sederhana untuk jadi landasan kebijakan,” kata dia.

Di samping berbagai alasan lain baik secara ilmiah maupun secara aspek sosial dan budaya sesungguhnya melestarikan anugerah keragaman pangan di Indonesia adalah suatu sikap yang bijak. Pelestarian tersebut terwujud dalam penanaman kembali sumber pangan lokal dan mengomsumsinya kembali.

KEHATI berjuang dan mendorong pemanfaatan pangan lokal sebagai salah satu sumber kedaulatan pangan yang tertuang dalam rencana strategis 2013-2017. Kepedulian terhadap potensi pangan di Indonesia juga masuk dalam empat tema utama program KEHATI yaitu Pangan, Energi, Kesehatan dan Air.

Dukungan KEHATI terhadap pemanfaatan sumber pangan lokal oleh petani bisa dilihat di kawasan Flores Timur dengan pemberdayaan petani pangan lokal. Di Sulawesi Utara, tepatnya di Pulau Sangihe, KEHATI juga mengajak petani untuk kembali bercocok tanam yang lestari untuk komoditas rempah dan sagu. Begitu pula yang KEHATI lakukan bersama para petani di Yogyakarta dengan memanfaatan aneka umbi


Tagged:

0 komentar:

Posting Komentar